Sampai di kamarnya, mas dokter sedang memeriksanya. “Mas! Kepalanya luka!” seruku. “Iya.. Nih Mas Dadang lagi ngambilin obatnya..” jawabnya. “Cepetan, Mas! Takut kenapa-kenapa...!” seruku tertahan. Dia tersenyum, “Tenang aja, lukanya ngga dalem. Cuma terbentur sedikit tapi sebelah kakinya terkilir lumayan parah. Dia ngga akan kuat jalan selama beberapa hari..” “Apa harus ke rumah sakit, Mas?” tanyaku. “Ngga sih.. Tapi kalau mau lebih cepat sembuh ya ke rumah sakit..” ujarnya, “Emangnya kenapa bisa begini sih?” “Dia ditabrak motor, Mas! Sampai mental tadi! Padahal kami udah minggir! Emang sinting tuh motor!” seruku kesal, “Di sekitar sini ada rumah sakit, Mas?” “Ada sih. Tapi lumayan jauh juga.. Tanya dia dulu mau apa nggak, ya..” jawabnya. Aku mengangguk.
Mas Dadang masuk. Mas dokter langsung bekerja membersihkan luka-luka Zaki. Zaki sudah tidak sadarkan diri. Pasti sakit banget kalau luka di kepala begitu. Ditambah terkilir yang parah. Duuh.. Aku dan Tia menunggu di luar dengan cemas. Aku takut banget ada apa-apa sama Zaki.. Karena aku yang ada di sana waktu itu! Uuh.. Aku takut penyelamatanku terlambat! Uh! Tidak! Tidak mungkin! Aku sudah berusaha cepat menolongnya!
“Tenang, Fin..” ujar Tia menepuk pundakku. “Aku takut dia kenapa-napa, Ti..” ujarku cemas. “Kan ada mas dokter.. Dia dokter beneran lho, Fin..” ujar Tia. “Iya, aku tau..” sahutku. Tapi tetap saja aku sangat khawatir! “Zikru kuat kok, Fin..” ujar Candra. Aku mengangguk cepat. Teman-teman cowok sudah menunggu di luar dari sejak menggotong Zaki tadi. Ya Allah.. berikan kekuatan padanya.. Jangan sampai sesuatu yang berat menimpa padanya! Duuh.. Tia memelukku untuk menenangkanku. Aku meremas bajunya kuat-kuat hampir menangis.. Uuh..
Mas dokter keluar! “Mas! Dia udah sadar?” tanyaku cepat. Mas dokter mengangguk, “Tapi dia ngga mau ke rumah sakit. Istirahat di sini aja katanya..” Yah.. Aku buru-buru masuk. “Zaki...!” Nafasku tertahan saat melihat kepala, tangan, dan kakinya diperban. Dia tersenyum..., “Makasih ya, Fin..” “Kenapa kamu ngga ke rumah sakit aja?” tanyaku sambil mendekatinya lalu duduk di kursi di dekatnya. “Ngga mau ah.. Ngga enak di rumah sakit..” jawabnya. Oh.. iya sih.. tapi.. “Lagian, nanti malem kita udah janjian mau belajar kan?” DEG. “Kamu apa-apaan sih? Lagi sakit malah mikirin belajar! Ngga! Ngga usah! Kamu istirahat aja di sini! Ngga usah belajar dulu!” ujarku. “Tapi, Fin..” “Please, Ki.. Aku ngga mau kamu malah anfal nanti..” potongku. “Anfal..” ulangnya sambil tertawa pelan, “Kamu emang cocok jadi dokter, Fin..” Aku tersenyum, “Pokonya kamu istirahat yang banyak, ya..”
Teman-teman mulai masuk. “Gimana keadaanmu, Ru?” tanya Candra. “Baikan..” jawan Zaki pelan. Candra mengangguk. “Kata Mas Dadang kamu udah dikasih obat..” ujar Riki. “Iya..” balas Zaki singkat. “Ngantuk?” tanyaku. “Ngga.. Kayanya Cuma obat pereda rasa sakit aja..” jawabnya. Oh.. aku mengangguk-angguk.
“Udah.. Jangan sedih gitu mukanya, Fin..” ujar Zaki sambil tertawa pelan. “Gimana ngga sedih? Aku panik banget tadi! Aku takut telat nyelametin kamu!” ujarku cepat. “Dia khawatir banget nungguin kamu sadar, Ru..” ujar Candra sambil menunjukku dan tertawa. “Ngga telat, kok.. Justru berkat kamu aku jadi tertolong..” ujar Zaki tersenyum padaku. Aku mengangguk lagi.
Lalu Zaki melihat ke atap dengan pandangan menerawang. Dan ada sedikit kilatan marah pada matanya. Kenapa..? “Ada apa, Ki..?” tanyaku bingung. “Hmm.. Nggak apa-apa..” jawabnya. Tapi.. pandangannya tadi tidak menunjukkan itu. Ada apa, ya? “Kamu marah sama aku, ya..?” tanyaku. “Aku ngga mungkin marah sama kamu, Fin..” balas Zaki. Lalu.. apa..?
DRRT! DRRT! Handphoneku.. Ada telepon.. Lho? Kak Randy? Aku keluar kamar untuk mengangkat telepon. “Assalamualaikum!” barengan! “Waalaikumsalam!” barengan lagi jadinya! Dia tertawa. Uuh! Kebiasaan! “Udah kubilang, aku duluan yang salam, kak!” ujarku. “Ngga mau! Kan aku yang nelepon,” balasnya. “Kan aku yang ngangkat!” balasku bersikeras. “Udahlah.. masa setiap aku nelepon bahas salam terus. Udah bareng-bareng aja ngga apa-apa.. Kata Rendi kamu kecelakaan?” tanyanya to the point. “Bukan aku, temenku..” jawabku. “Kamu ngga apa-apa?” tanyanya. “Iya.. aku sih sehat wal afiat..” ujarku. “Alhamdulillah. Kalo kamu yang kecelakaan, tadinya mau langsung kujemput biar kamu pulang terus istirahat!” serunya. Aku tertawa, “Ngga kok, Kak.. Tenang aja..” “Oh iya, kamu pulang kapan? Kujemput lagi, ya?” ujarnya. “Kalo ngga salah masih tiga hari lagi, kak..” jawabku. “Ok.. Pas mau pulang, sms aku ya.. Biarkujemput!” lanjutnya. “Kakak ngga kuliah emangnya?” tanyaku. “Ya, pulang kuliah. Kamu pasti nyampenya siang kan?” tanyanya. Bener juga, “He-emh..” “Eh, try outnya bisa ngga, de?” tanyanya. “Bisa sih.. Tapi matematikanya susaaah! Nanti ajarin lagi ya, kak!” pintaku. “Iya! Siip! Tenang aja. Mate sih serahkan sama aku!” ujarnya. “Uuh.. sombong nih..” tanggapku sambil tertawa. Dia juga tertawa, “Yaudah, udah dulu ya, de.. Hati-hati di sana!” ujarnya. “Iya! Makasih, Kak!” ujarku. “Assalamualaikum!” barengan lagi! “Iih kakak!!!” seruku. Dia tertawa. “Waalaikumsalam! Dadaah!” ujarnya. “Daah.. Waalaikumsalam!” balasku. Lalu kututup duluan sambil nyengir. Kalau bukan aku yang nutup duluan, tidak akan selesai-selesai karena biasanya dia menungguku menutup teleponnya duluan.
“Ngapain, Fin? Berdarah tuh..” Rendi! “Darahnya Zaki.. Kamu ngomong apa sama Kak Randy? Kok dia nyangka aku yang kecelakaan?” tanyaku. “Bah! Salah baca tuh orang! Aku bilang ada temenku yang kecelakaan tadi ditolong Fina..” ujarnya ketawa. Aku tertawa kecil. Jadi salah baca ya.. Aku kira Rendi juga salah informasi! Ternyata tidak tuh. “Mau masuk, ngga?” tanya Rendi. Aku mengangguk. Aku masuk lagi ke kamar Zaki sama Rendi.
“Telepon siapa, Fin?” tanya Tia. “Kak Randy..” jawabku singkat. “Lho?” Rosi menunjuk aku dan Rendi dengan bingung. Tia tertawa. Memang lucu sih.. Aku ditelepon Kak Randy dan tadi masuk bareng Rendi. “Udah baikan, Ru?” tanya Rendi. “Ya.. Alhamdulillah..” ujar Zaki. “Tidur aja, Ru..” ujar Riki. “Iya.. kalo bisa..” jawab Zaki. “Kenapa ngga bisa?” tanya Riki. “Sakit, ya?” tanyaku. “Sedikit..” balas Zaki. Uuh.. pasti sakit banget.. Walaupun sudah diberi obat pereda rasa sakit.. Kan Cuma meredakan bukan menghilangkan. “Ngga apa-apa, kok, Fin..” ujarnya sambil tersenyum padaku. Uuh.. “Maaf ya.. Gara-gara aku meleng karena mau sms.. jadi..” “Ya ampun.. Itu bukan salah kamu!” potong Zaki, “Cuma.. kecelakaan.. Justru kamu yang menolongku! Makanya.. jangan merasa bersalah.. Ya?” Ah, baiklah.. Aku mengangguk pelan. Tia juga merangkulku agar aku tidak merasa bersalah.
Malamnya, karena tidak jadi belajar bareng sama Zaki, jadinya belajar di kamar saja sama Tia, Rosi, dan Asiyah! Belajarnya dari jam delapan sampai jam sembilan malam. Haduh.. Tidak ada cemilan nih.. “Laper.. cari cemilan yuk..” ajakku. “Nah! Kebetulan, Fin! Nitip dong..” ujar Tia. “Aku juga nitip dong!” ujar Rosi. “Lho? Terus aku ke sananya sama siapa?” tanyaku. “Sendiri aja! Berani kan? Please..” ujar Asiyah ikutan nitip. Yah.. Ya sudahlah.. Aku mengangguk.
Aku ke tempat penjualan makanan 24 jam. Asik juga karena mini marketnya 24 jam! Jadi bisa beli makanan, minuman atau apapun yang diinginkan kapan saja! GRRAK!!! Apaan tuh?! Aku kaget! Ada sesuatu yang terjatuh.. Aku mencari sumber suara. Sepertinya tidak jauh dari tempat aku berdiri nih.. Suara apa ya..?
Eh!! Zaki!! “Lho? Kamu ngapain?” tanyaku. “Eh, Fin.. Aku mau beli makanan..” ujarnya sambil berpegangan pada tembok. Duuh! Kata Mas Dokter kan dia harusnya tidak bisa jalan walaupun terkilirnya Cuma sebelah! Aku membantunya berdiri. “Kenapa ngga minta bantuan temen sekamarmu?” tanyaku. “Mereka ngga tau ke mana.. Kayanya lagi pada belajar di aula..” ujar Zaki. “Emangnya kamu ngga sekamar sama Candra ya?” tanyaku. “Ngga.. Aku sekamar sama temen-temen dari sekolahku..” balasnya. Oh iya.. Aku dan Zaki kan beda sekolah. Karena Candra satu sekolah denganku, otomatis Candra dan Zaki juga beda sekolah.
Aku membawanya sampai ke kursi terdekat. “Aku juga mau beli cemilan. Kamu mau beli apa? Biar sekalian! Jadi kamu tunggu di sini aja..” ujarku. “Eh.. ngga usah.. Nanti ngerepotin..” ujarnya. “Ngga, kok.. Udahlah.. bilang aja kamu mau makan apa.. Eh, kamu udah makan malem kan?” tanyaku. Dia mengangguk, “Tadi temen sekamarku bawain makan malem..” Syukurlah.. “Kalau begitu mau makan apa sekarang?” tanyaku. “Apa aja deh.. Makanan kecil aja..” jawabnya. Aku mengangguk, “Tunggu di sini ya..”
Aku segera ke minimarket. Beli chiki yang banyak buat aku dan temen-temen sekamar. Buat Zaki.. apa ya? Biskuit aja deh! Nanti dia suruh milih saja mau makanan yang mana! Setelah bayar, aku minta satu kantung kresek lagi buat memisahkan makananku dan makanan Zaki. Lalu aku segera kembali ke kursi di mana aku meninggalkan Zaki. Dia masih menunggu di situ.
“Nih.. pilih aja mau yang mana..” ujarku. “Makasih banyak ya, Fin..” ujarnya. “Sama-sama..” balasku. Dia memilih makanan yang manis-manis. Wew.. Aku baru tau dia suka makanan yang manis-manis! Dia memasukkan sendiri makanan yang dia mau ke kantung kresek untuknya. “Jadi berapa semuanya?” tanyanya. “Ya ampun! Ngga usah, kok! Aku beliin!” ujarku. “Tapi..” “Anggep aja biar aku ngga merasa bersalah, ok?” potongku. Dia tersenyum lalu mengangguk.
“Yuk, kubantuin ke kamarmu. Pasti sakit kan kalo dipake jalan..” ujarku sambil melihat kakinya yang masih dibalut perban. Dia yang membawakan belanjaan agar aku tidak repot saat memapahnya kembali ke kamarnya.
Sampai di kamarnya, teman-temannya sudah ada! “Nah ini dia! Ke mana aja, Ru? Shock banget kita pas ngeliat kamu ngilang!” seru salah seorang temannya. “Iya! Lagi sakit malah keluyuran kamu!” tambah temannya yang satu lagi. “Sorry.. Aku laper..” ujar Zaki. Aku membantunya duduk di tempat tidurnya. “Eh.. pacarmu, Ru? Nggak pernah bilang..” ujar temannya tadi. Eh.. “Temennya Candra, kok..” ujar Zaki pada temannya itu. “Banyak amat belinya, Ru! Buat kita semua?” tanya temannya yang tadi menyambut sambil melihat belanjaan. Mereka sekamar Cuma bertiga. “Bukan punyaku semua..” ujar Zaki. “Kalau kalian mau, ambil aja..” ujarku. “Beneran nih? Eh.. Kita belum kenalan..” ujar temannya yang tadi melihat-lihat belanjaan. Temannya itu menghampiriku, “Aku Rizky. Biasanya pada manggil Iki doang..” ujar Iki padaku. “Aku Fina..” balasku. “Aku Johan. Dipangilnya Jojo..” ujar yang satu lagi. Aku mengangguk. “Beneran boleh ngambil nih, Fin?” tanya Iki. Aku mengangguk, “Silakan aja. Aku belinya banyak kok sekalian buat temen-temen sekamarku juga. Kalian juga boleh..” ujarku. “Atau kalian ambil yang punyaku tuh..” ujar Zaki. “Apa bedanya?” tanya Iki. “Nih! Bedanya, yang punya Zikru pasti isinya manis-manis semua!” ujar Jojo yang juga ikutan ngeliat belanjaan. “Oh iya! Cowok “manis” sih!” tanggap Iki sambil ketawa, “Sampe Marta ngejar-ngejar terus..” “Ah! Ngga usah dibahaslaaah! Langsung nyeri semua lukaku kalau bahas dia!” seru Zaki kesal. Jojo jadi ikutan ketawa, “Mau ya, Fin!” Dia mengambil chiki dari kantung kresek milikku. Aku mengangguk.
“Udah malem, kamu ngga tidur?” tanya Zaki padaku. Oh iya! “Iya.. Kalau gitu aku balik ke kamar ya? Kamu ngga apa-apa kan, udah sama temen-temenmu?” tanyaku. “Iya.. Makasih banyak ya, Fin..” ulangnya. “Sama-sama..” balasku sambil nyengir. Aku mengambil belanjaanku. “Mau lagi ngga?” tawarku pada temen-temen Zaki. “Udah! Makasih, Fin!” ujar Jojo. Aku mengangguk lalu keluar dari kamar mereka dan menuju kamarku.
“Lama amat, Fin!” ujar Tia saat aku kembali ke kamar. “Ketemu Zaki tadi.. Dia juga nyari cemilan. Jadi aku bantuin dulu. Dia kan susah jalan..” balasku. “Tuh kan! Bener dugaanku! Ketemu Zikru!” seru Asiyah. “Nih.. ambil aja yang kalian mau..” ujarku sambil menaruh belanjaanku. “Asiik! Thanks, ya, Fin!” ujar Rosi. Aku mengambil chiki dan lanjut belajar dengan teman-temanku.
Hari ketiga di sini, diisi dengan pembahasan! Mulainya jam sembilan pagi setelah sarapan. Wah.. sayang banget Zaki tidak bisa ikut pembahasan ya.. Dia kan sedang sakit. Tidak mungkin ikut. Padahal biasanya dia semangat belajar. Pasti sedih juga ya.. Hmm..
Setelah pembahasan, shalat terus makan siang. Aku ingin jenguk Zaki.. Tapi tidak enak juga kalau sendirian. Mau ngajak yang lain juga tidak enak. Nanti malah diledekin lagi! Akhirnya aku ke kamar. Teman-teman entah di mana. Sedang menyebar sepertinya. Aku mengambil boneka dari Zaki. Boneka yang lucuuu! Boneka ini sudah dua hari menemaniku saat tidur! Senang rasanya!
BRAK!!! Hah?! Siapa ibu ini?! Kok sembarang saja masuk ke kamarku. Dia melihatku dengan pandangan.. geram lalu merebut boneka pemberian Zaki dari tanganku. Dia kabur! Pencuri!!! “Tunggu!!!” seruku mengejar ibu itu. Aku lebih muda! Aku harus bisa lebih cepat mengejarnya! Hampir kena! Aduh! Dia berbelok! “Hei, pencuri!!!” seruku. Lho.. ini kan menuju..
..kamar Zaki.. “Hei!!!” Ibu itu masuk begitu saja ke kamar Zaki! Aku mengejarnya. Ibu itu menyeringai pada Zaki yang jelas kaget melihat orang masuk tiba-tiba ke kamarnya. Lalu ibu itu mengambil kunci yang tergeletak di meja dan kabur ke beranda. “Hei!” Aku mengejarnya ke beranda. “Fina! Jangan!!!” seru Zaki. Tapi aku sudah di beranda dan ibu itu mengunci pintu beranda.
“Kau mau boneka ini?” tanya ibu itu sambil mendelik padaku. “Kembalikan..!” seruku. ZRAAT!!! “Aaaw!!!” Ibu itu menggores tanganku dengan pisau saat aku hendak meraih bonekaku. Uuh.. Sakit sekali.. Aaaaaw!!! “Fina!!!” Zaki melihat melalui jendela dan menggedor pintu dengan tangannya yang tidak terluka.
“Kemari, manis.. Biar kupotong lagi bagian tubuhmu! Mau yang mana dulu?” seru ibu itu sambil tertawa. Duh.. ibu ini psikopat ya? “Ambil boneka tersayangmu ini.. Ayo..” ujarnya. Dia menyodorkan bonekaku dan menodongkan pisaunya ke arahku. Aduuuh...! “Sini, gadis bodoh!!!” Ibu itu menarik tanganku yang terluka dan menempelkan boneka itu ke lukaku!!! “AAAW!!! Sakiiiiit!!! Lepaskan!!!” seruku sambil menyentakkan tanganku. Untung terlepas!
Bonekanya jadi merah sebagian.. Uuh.. Dia tertawa puas melihat darahku menyerap di bonekaku. “Sekarang aku akan membunuhmu.. Ke sini, manis..” ujarnya menyeringai. Duuuh!!! Perih sekali lukaku!!! Ibu itu mendekat karena aku membantah perintahnya. Aku mundur takut melihat pisaunya terarah padaku. Ibu ini sudah gila..! Dia akan benar-benar membunuhku! “Ke.. kenapa..?” tanyaku. “Kenapa?! Ooh!!! Rasa sakit yang kau rasakan sekarang tidak sebanding dengan yang diderita anakku!!!” serunya. Anaknya..? “Dan itu semua gara-gara kamu!!! Gadis bodoh!!!” lanjutnya. Hah..? Aku tidak mengerti..
“Mati kau!!!” Tidak!!! Ibu itu menerjangku dan aku menangkisnya. Dia memojokkanku sampai ke pagar batas beranda. Aku akan jatuh! “Matiii!!!” Ibu itu mengayunkan pisaunya padaku. “Tidaaak!!!” Aku mendorongnya kuat-kuat. JRRAAAK!!! GRAAAK!!! Pagarnya patah!!! Ibu itu terlempar melewati pagar! “Waaa!!!” BRRAAAK!!! “Fina!!!”
GRRT! TAP! Oh.. Zaki.. Teman-temannya berhamburan masuk.. Mereka mendobrak pintunya.. Zaki menarikku tepat sebelum aku jatuh.. Tapi ibu itu sudah jatuh.. Ke sungai di bawah beranda. Memang tidak tinggi tapi banyak batu tajam di sungai yang dalam ini..
“Mati, ya?” tanya Jojo ngeri. DEG! Tidak.. “Dia tidak muncul ke permukaan..” ujar yang lain. Oh tidak.. “Ma.. maaf..” ujarku pelan dan tersendat. Aku tercekat! Suaraku seperti tertahan.. Aku.. aku tidak membunuh kan..? Uuh.. Tidak!
“Fina! Kamu terluka ya? Ya Allah..” Zaki melihat luka di tanganku. “A.. aku.. ngga membunuh kan..? Za.. Zaki! Aku.. nggak bunuh.. kan..?” “Ngga.. Dia ngga mati, kok..” ujar Zaki tenang. “Ta.. Tapi..” “Tenanglah.. Aku yakin dia ngga mati.. Sekarang obati dulu lukamu..” potongnya. Zaki menarikku masuk ke kamar dan menyuruhku duduk di tempat tidurnya. Ada peralatan P3K di laci mejanya. Mungkin biasanya dia gunakan untuk mengobati lukanya..
Aku masih shock.. Luka di tanganku tidak terasa.. Walaupun Zaki sedang memberikan antiseptik di lukaku.. Tidak terasa perih.. Iki menaruh boneka yang sudah separuhnya merah karena darahku di tempat tidur di dekatku. “Dia mati..” ujarnya. DEG! “Tidak! Kamu.. bohong, kan..?” ujarku tertahan. “Dia tidak muncul lagi.. Mungkin kepalanya terbentur batu dan dia tenggelam..” tambah Jojo. “Ng.. Nggak!!!” seruku mulai panik.
“Fin! Tenanglah..” Antiseptik yang dioleskan Zaki meleber karena tanganku bergerak. “Ngga bisa! Ngga...! Aku..” “Dia ngga mati, ok? Dia bisa berenang langsung ke tepi kan..” jelas Zaki. “Ta.. tapi.. Aku.. aku.. ngejatuhin.. Aku yang..” Uuh.. Air mataku mulai turun.. “Fina.. Jangan nangis.. Itu bukan salah kamu..” ujar Zaki menghapus air mataku.. “Aku.. Dia bilang.. gara-gara aku..” “Ngga, Fin..” potong Zaki lembut.. Uuh..
Setelah aku tenang, Zaki melanjutkan mengobati lukaku. “Kalau kamu masih ragu, kiat bisa cari mayatnya. Aku yakin, ngga akan ada..” ujar Zaki pasti. “Kalau begitu, kita cari sekarang!” “Jangan sekarang, Fin.. Aku takut dia masih berada di sekitar sungai atau tepi sungai. Kalau kita ke sana.. nanti dia mencelakaimu lagi..” ujarnya. Oh.. iya juga..
Boneka dari Zaki.. masih tergeletak begitu saja di tempat tidur.. Darahku yang menyerap ke boneka menjadikan boneka itu tampak.. aneh.. Ah! “Maaf!” ujarku cepat setelah Zaki selesai mengobati lukaku. “Kenapa?” tanya Zaki sambil membereskan peralatannya. “Bonekanya..” ujarku sambil mengambil boneka itu. Dia tersenyum, “Nanti kubeliin lagi..” “Bukan begitu! Maaf aku tidak bisa menjaganya.. dan.. malah..” “Bukan salahmu, Fin..” potong Zaki membujukku untuk tidak menyalahkan diriku sendiri. Uhm.. Baiklah..
“Makasih, Ki..” ujarku pelan. “Sama-sama..” balas Zaki. “Aku kembali ke kamar saja, ya..” ujarku. Dia mengangguk, “Mm.. Fin.. jangan.. lakukan sesuatu yang berbahaya lagi, ya..” Eh.. Aku mengangguk pelan tapi tidak begitu mengerti kata-katanya. Uuh.. Sudahlah.. Aku sudah cukup shock dengan kejadian ini.. Aku kembali ke kamarku yang kosong. Lalu langsung merebahkan diri. Aku masih sangat shock.. Semoga ibu itu tidak mati.. Uuh..
“..bunuhan itu..” “Iya.. mati kan..” Hah.. Aku terbangun dan mengucek mataku. Tia dan Asiyah sedang membicarakan sesuatu.. Mereka tidak sadar kalau aku bangun.. “Pasti sudah mati.. Mungkin mayatnya masih ada di sungai..” ujar Asiyah. DEG! “Ya.. dan penyebab semua ini, Zikru kan? Aku ngga nyangka..” lanjut Tia. Hah?! Zaki.. “Ternyata dia separah itu ya. Kupikir dia cowok baik..” tanggap Asiyah.
“Apa yang kalian bicarakan?” tanyaku tegas. “Eh.. udah bangun, Fin..” ujar Tia. “Apa yang kalian bicarakan?!” seruku hampir menangis.. “Yah.. Kamu pasti taulah, Fin..” ujar Asiyah. “Pencuri yang mati itu..” lanjut Tia. “Kenapa kalian bilang Zaki yang salah?” tanyaku cepat. “Ya memang dia, kan? Emangnya kamu ngga tau siapa pencuri itu?” tanya Tia. “Siapa...?” tanyaku tersendat. “Aduh, Fiiin! Dia itu ibunya Marta!” ujar Asiyah. Hah?! “Tapi.. aku yang mendorongnya! Aku yang.. Dia juga bilang semua gara-gara aku!” seruku. “Iya, kami tau. Tapi dia tidak akan melakukan itu semua kalau Zikru ngga nolak Marta terus, kan? Jadi ini semua salah Zikru..” ujar Tia acuh tak acuh. “Ngga!! Tapi.. kalau gitu.. kenapa dia ingin bunuh aku juga?” tanyaku tambah bingung. Tia dan Asiyah saling pandang lalu kembali menatapku.
“Zikru ngga bilang sama kamu?” tanya Tia. “Bilang apa?” tanyaku. “Yah.. Kami tidak bisa bilang. Hal itu sih harus Zikru sendiri yang bilang sama kamu, Fin..” ujar Asiyah. “Apa?! Kalian tau kan? Kenapa kalian nggak mau ngasih tau aku?” tanyaku cepat. “Bukannya ngga mau.. Emang ngga bisa.. Well, lancang banget kalau kami yang bilang..” ujar Tia. “Apa sih maksud kalian..?” tanyaku.
JRAK! Rosi.. “Wah! Kebetulan kumpul! Ada pelajaran tambahan! Kalian mau ikut ngga?” tanya Rosi. “Boleh! Jam berapa tuh?” tanya Tia. “Jam empat nanti. Kita mandi dulu aja terus shalat!” ujar Rosi. Yang lain setuju. Aku juga mau ikut pelajaran tambahan. Jadi akhirnya kami gantian mandi dulu. Terus shalat berjamaah.
Selesai shalat, langsung mulai belajarnya. Uh.. banyak yang tau tentang tragedi pencuri itu. Untungnya pihak bimbingan belajar tidak tau tentang hal itu. Mereka Cuma membicarakannya pelan-pelan. Tapi.. semuanya menyalahkan Zaki! Uuh! Tidak boleh begini! Padahal aku yang salah, tapi kenapa Zaki yang disalahkan? Huh! Aku jadi tidak bisa konsentrasi belajar karena memikirkan hal ini! Ditambah dengan pernyataan Tia dan Asiyah tadi yang membuatku tambah bingung. Sebenarnya ada apa sih di balik semua ini? Aah!
Aku ingin menanyakan ini semua pada Zaki dan.. minta maaf karena semuanya jadi menganggap ini salahnya. Padahal ini semua salahku. Duuh.. Tapi selesai pelajaran tambahan ini jam enam! Harus langsung shalat Maghrib lalu makan malam. Setelah makan malam, baru aku punya waktu untuk menemui Zaki.
Sampai di depan kamarnya, aku ragu. Harus kuketuk atau langsung masuk saja? Ah, tidak sopan kalau langsung masuk begitu saja. Jadi kuketuk dulu pintunya. “Masuk!” suara Zaki. Tapi tidak ada yang membukakan pintu.. Apa dia sedang sendiri? Ke mana teman-temannya? Ah! Aku membuka pintunya dan masuk. Ya, dia sendiri.
“Hai, Fin..” sapanya sambil tersenyum. Aku buru-buru menghampirinya. “Zaki! Maafkan aku!” ujarku cepat. “Kenapa? Kamu ngga salah apa-apa, kok..” ujarnya. “Ngga! Mereka semua tau tentang.. kejadian tadi siang tapi mereka menyalahkanmu! Padahal itu semua salahku..!” “Sssht, Fin.. Itu memang salahku, kok..” potongnya. “Tapi..” “Fin.. Kalau aku.. yah.. kalau aku nggak.. Eh.. kamu tau siapa pencuri itu?” tanyanya. Aku mengangguk cepat, “Ibunya Marta, kan? Aku ngga ngerti kenapa dia bisa kaya gitu!” “Kamu pasti tau alasannya..” ujar Zaki mendengus kesal. “Ya.. Karena Marta.. Ya.. Aku tau itu. Tapi kenapa.. dia.. mau membunuhku..?” tanyaku.
Zaki seperti kaget mendengar pertanyaanku. Dia Cuma menatapku tanpa menjawab.. “Ng.. itu.. makanya.. Harusnya aku yang minta maaf sama kamu.. Gara-gara aku.. kamu hampir..” “Itu salahku, Ki!” potongku cepat, “Kalau aja aku bisa lebih baik menjaga boneka darimu.. Jangan sampai tercuri dan.. kalau aja aku ngga seenaknya mendorong ibu itu..” “Kamu melakukan itu untuk membela diri kan.. Itu ngga salah..” potong Zaki. “Tapi gara-gara itu semuanya menyalahkanmu! Semuanya jadi menganggapmu buruk! Padahal aku yang melakukannya! Maafkan aku, Ki.. Uuh.. maaf..” ujarku. Aku sudah jahat sama Zaki.. “Jangan nangis, Fin! Itu emang salah aku, kok.. Fin..” Tapi air mataku sudah keburu turun. Aku menelungkupkan wajahku di tempat tidur Zaki.. Aku kesal! Kenapa semua orang harus menyalahkan Zaki? Aku benar-benar tidak mengerti! Aku kesal karena perasaan bersalah ini dan aku kesal karena tidak mengetahui apa kejadian yang mendasari semua ini sampai terjadi sebegini tragisnya..
“Fina..” Zaki menyentuh rambutku.. “Jangan nangis..” ulangnya. “Aku.. aku akan berenti nangis kalo semuanya udah ngga nyalahin kamu!” seruku. “Tapi Fin.. Itu emang salahku..” “Nggak! Jelas-jelas aku yang dorong dia sampai kecebur! Dan.. sampai sekarang..” “Udah kubilang, dia ngga mati, Fin.. Percayalah..” potong Zaki tegas. Uh..
Aku menegakkan tubuhku dan menghapus air mataku, “Kalau begitu aku akan membukatikan hal itu sekarang juga!” seruku. “Tapi ini udah malem, Fin..” ujar Zaki sambil bangkit duduk. “Biarin! Aku ngga mau masalah ini jadi berlarut-larut!” Aku buru-buru berdiri. “Fina! Tunggu dulu!” Zaki menarik tanganku. Dia berusaha bangun dan menyingkir dari tempat tidurnya. “Kamu ngga usah ikut, Ki..” “Dengarkan dulu. Kalau emang dia mati, harusnya tubuhnya mengapung kan?” Dia menarikku ke beranda. Di beranda ada lampu jadi tidak terlalu gelap dan permukaan air sungai yang hitam lumayan dapat terlihat.
Dia berjalan terpincang menuju bagian beranda yang rusak.. Duuh.. “Ki.. kamu ngga perlu ikut ke sini. Aku bisa liat sendiri..” ujarku sambil membantunya berjalan. Uuh.. aku jadi menyusahkan dia.. Dia Cuma menggeleng lalu menunjuk permukaan sungai, “Nggak ada, kan?” Aku memperhatikan permukaan sungai yang hitam. Memang tidak ada apa-apa di sana.
Kulepas Zaki yang bisa bersandar ke tembok. Aku maju melihat permukaan sungai lebih dekat. Apa ibu itu ada di kolong beranda ini? Uuh.. Aku agak takut membayangkan hal itu.. Tapi aku memang harus membuktikannya! Zaki ada benarnya juga.. Kalaupun ibu itu benar tenggelam tadi, harusnya mayatnya mengapung sekarang..
Aku melihat lebih dekat ke permukaan sungai. Agak sedikit mengintip ke kolong beranda.. “Jangan deket-deket, Fin!!!” seru Zaki. “Emangnya kenapa..?” tanyaku bingung. ZRAAT!!! “Fina!!!” “Zaki!” Ada yang menarik kakiku! Untung Zaki cepat menarik tanganku agar tidak jatuh.. Tapi.. tangan itu masih menarik kakiku. Tangan dingin yang pucat.. Jangan-jangan hantu..?! Tidak!! Tidak mungkin!! Aku mikir apa sih?! Mana ada hantu yang bisa narik begini?
Zaki berpegangan pada tembok.. Tapi yang berpegangan pada tembok adalah tangannya yang terluka.. “Zaki.. lepas aja..” ujarku pelan. “Kamu ngomong apa sih?! Mana mungkin kulepas!!” serunya. UUH! Tangan itu masih menarikku kuat-kuat! “Tangan kamu sakit kan, Ki! Aku.. Aku bisa berenang, kok!” seruku. “Lepaskan saja dia!!!” seru seseorang dari arah kolam. Ibu itu!!! Dia basah kuyup dan sangat pucat! Benar-benar mirip hantu! Hiii!!!
“Apa kubilang! Dia ngga mati, kan!” ujar Zaki. “Iya.. Aku percaya sekarang! Tapi.. lepaskan aku, Ki.. Aku bisa mengatasi ini..” ujarku. “Nggak!!!” bantahnya. Aku menendang-nendang ibu itu agar melepasku. “Kau ngga akan lepas dariku, gadis bodoh!!!” seru ibunya Marta. Dia menarik kakiku yang satu lagi. Membuat Zaki semakin kesakitan karena ikut tertarik. “Ki.. please..” Aku melepas tangannya. “Nggak!!! Fina!!!” Zaki menairk tanganku lebih kuat.
“Zaki! Sekarang giliran kamu percaya sama aku!” seruku. “Tapi Fin.. aku ngga akan lepasin kamu..” balas Zaki. Uuh.. Aku menghentakkan tanganku. Terlepas! “Waaa!!!” Aku tertarik ke dalam sungai. Airnya dingin sekali!!! Ibu itu langsung menangkapku sambil tertawa penuh kemenangan. Aku memukul mukanya. “Sialan kau!!!” “Waaabh!!!” Ibu itu menenggelamkanku ke sungai!!! Uuhb!!! Untung aku bisa berenang jadi bisa menahan napas! “Finaaa!!!” Suara Zaki..
Ibu itu menarikku menjauh dari beranda! Dia mengangkatku dan menyeringai, “Matilah..” Lalu dia tertawa. Dia menenggelamkanku lagi! Tapi aku siap dengan menahan napasku. Selama dia puas menekan kepalaku ke air, aku berusaha melihat di dalam air. Syukurlah ada cahaya bulan yang menyinari. Jadi sedikit kelihatan! Nah! Tanaman air! Uhuk!!! Gawat.. Napasku sudah mulai habis! Kutarik tanaman air itu lalu sekuat tenaga aku memunculkan diriku ke permukaan, melawan tekanan darinya. Kulilitkan tanaman air itu di lehernya. Untung tanaman liar ini panjang! “Apa-apaan ini?!” sentaknya. Setelah kulilitkan banyak-banyak, kupukul dia dan aku buru-buru berenang menuju beranda.
“Tunggu, kau gadis sialan!!!” seru ibu itu. Aku tidak mau melihat ke belakang sampai aku tiba di beranda. Ah! Bunyi kecipak di belakangku semakin mendekat! Ibu itu berhasil meloloskan dirinya! Aku mempercepat berenangku tanpa melihat ke belakang. Di beranda, Zaki masih di situ berusaha berjalan terpincang menuju bagian yang rusak.
“Zaki!” seruku cepat. “Fina! Cepetan, Fin!” serunya. Dia membantuku naik. “Kau tidak akan bisa ke mana-mana!” GRRT! Duuh! Ibu itu menangkap kakiku lagi! Aku berusaha menendang dan kena mukanya! “Sialan!!!” serunya kesal. Dia menangkap sendal ruanganku. Cuma sendal! Kulepas sendalku dan aku buru-buru naik ke beranda. “Ayo, Ki..” Aku membantu Zaki berjalan menjauh dari tempat itu. Tapi Zaki tidak bisa jalan cepat-cepat. “Kamu pergi aja, Fin!” ujar Zaki. “Ngga! Nanti kamu yang dicelakain!” balasku.
DRRAK!!! Ibu itu menaiki beranda dengan mulus. Duh!!! “Mau ke mana kalian?!” bentaknya. Ibu itu berlari menuju pintu beranda! Tidak!!! Dia langsung menutupnya sebelum aku sempat mencegahnya. Lalu dia mengacungkan pisaunya lagi padaku. Uuh.. “Mundur!!!” perintahnya. Aku mundur sampai ke tempat Zaki.
Ibu itu tertawa. Dia benar-benar gila.. “Kebetulan kalian berdua di sini..” ujar ibu itu. Dia menjauh dari pintu tapi aku tidak bisa ke pintu karena dia mengacungkan pisau padaku. “Sekarang, Zikru..” ujar ibu itu sambil menunjuk Zaki dengan pisaunya. “Katakan kalau kau tidak menyukainya!” ujar ibu itu sambil mendelik padaku. Hah?
“Cepat!!! Liat dia sekarang! Basah dan kotor! Dia ngga lebih cantik daripada anakku!” seru ibu itu tertawa lagi. Apa sih maksudnya? Kenapa dia membandingkanku dengan Marta? Ya.. memang Marta cantik. Tapi kenapa harus dibandingkan denganku? Memangnya apa salahku?
“Katakan sekarang!!!” bentaknya mengacungkan pisau pada Zaki, “Katakan kau nggak menyukai gadis ini dan lebih menyukai anakku!” Suka kok maksa sih? Lagipula.. kenapa harus bawa-bawa aku sih? Aku kan tidak ada hubungannya dengan mereka.. Ya.. aku Cuma temannya Zaki dan.. tidak pernah berniat menganggu hubungan Marta dan Zaki.. Hubungan apapun itu..
“Nggak,” ujar Zaki tegas. “Kamu mau gadis ini kubunuh?!” seru ibunya Marta menarikku dan menodongkan pisau di leherku! “Fina!” Zaki terlambat menarikku.. Ibunya Marta sudah menangkapku lebih dulu. Uuh.. “Katakan sekarang!!!” bentak ibunya Marta dan mendekatkan mata pisaunya ke leherku.. “Aku..” Zaki ragu untuk mengatakannya. Tentu saja! Kalau Zaki tidak menyukai Marta, dia tidak akan mau mengatakannya! “Cepat!!!” seru ibunya Marta. Ah! Dia melepas tanganku! Kesempatan baik!!! Aku menyikut perutnya sekeras yang kubisa lalu berlari.. ZRRAT!! “AAAW!!!” Leherku tergores.. pisaunya.. SAKIIIT!!! “Fina!!!” Zaki menarikku menjauh dari ibu itu. “Sialan kamu, gadis brengseeek!!!” seru ibu itu hampir menghujamkan pisaunya di perutku..!
BRRRAAAK!!! “Berhenti!!!” Satpam!!! Mereka langsung meringkus ibu itu dengan cepat. “Lepaskaaan!!! Pemuda dan gadis itu yang bersalah!!!” seru ibu itu sambil menunjuk Zaki. Uuh.. Lukaku sakit sekali.. Ditambah air yang sangat dingin.. Kepalaku mulai pusing dan mataku berkunang-kunang.. Uuh.. Sakiiit!!! “Fina! Ya Allah..” Zaki menopangku yang hampir terjatuh. Mulai buram.. Uuh...!!! “Fina....!”
...Aku melihat ibu itu dibawa pergi sama satpam. Dia melihat aku dan Zaki dengan geram. “Awas kalian berdua!!!” serunya menggertak. Satpam menundukkan kepala ibu itu agar tidak menggertak lagi. Tapi itu malah membuat penjagaan satpam jadi tidak ketat! Ibu itu meraung dan memecahkan vas bunga di meja lalu menusuk satpam itu dengan pecahan vas bunga!! Ibu itu kabur dari cengkeraman satpam dan mengambil pisaunya kembali! “Ini semua gara-gara kamu!!!” Ibu itu menerjangku! “Jangan!” Zaki menghalangi ibu itu. Ibu itu mencekik Zaki! “Zaki! Lepaskan dia!” seruku mencoba melepaskan tangan ibu itu dari Zaki. “Pergi kamu, gadis sialan!!!” serunya mendorongku. “Ngga! Lepasin Zaki dulu!!” seruku.
“Pergi aja.. Fin..” ujar Zaki sambil menahan tangan ibu itu. “Ngga! Dia bakal bunuh kamu, Ki!” seruku sambil memukul tangan ibu itu. “SIALAN!!!” Ibu itu memukul wajahku! Uuh! Aku membalas pukulannya di wajahnya sekeras yang kubisa sampai dia terpelanting jatuh ke belakang. Aku buru-buru membantu Zaki bangun dan pergi..
“Tunggu! Kalian!!!” Ibu itu menarik dan melemparku kembali ke beranda. “Fina!” “Jangan mendekat!!!” Ibu itu mengacungkan pisaunya pada Zaki sambil menghalangi aku dan Zaki. “Aku akan membunuh gadis ini..” ujar ibu itu sambil tertawa. Ibu itu menendang kaki Zaki yang terluka membuat Zaki sangat kesakitan! “Zaki!” Aku hendak bangun dan menolongnya tapi ibu itu dengan cepat mengacungkan pisaunya padaku.
“Kamu milikku sekarang, gadis bodoh..” ujarnya tertawa puas. Dia mendorongku sampai aku berbaring dan dia menindihku agar aku tidak bisa bangun. “Siap-siap menemui ajalmu!” serunya meraung. Uuh! Dia mengacungkan pisaunya tinggi-tinggi siap menikamku. Aku memejamkan mata dan membaca syahadat bila ini memang ajalku.. “HYAAA!!!” BRAAAK! GRRT!!! GSST!
“ZAKI!!!” “Fina! Fin.. Alhamdulillah.. kamu sadar juga.. Ada apa? Aku di sini..” Zaki buru-buru bangkit dari kursinya.. Eh.. Aku di tempat tidur.. “Zaki.. kamu.. ngga apa-apa?” tanyaku. “Kok malah kamu tanyain aku! Kan kamu yang terluka! Justru aku khawatir banget kamu kenapa-napa!” balas Zaki cepat. “Aku.. kenapa..?” tanyaku bingung. “Kamu pingsan sudah empat puluh lima menit yang lalu! Aku.. khawatir.. banget..” ujar Zaki pelan. “Ibu itu..?” “Dia sudah diringkus polisi..” jawab Zaki. “Polisi?” tanyaku. “Ya.. Saat kamu dibawa kabur ke sungai sama dia, Jojo masuk dan aku menyuruhnya panggil polisi secepatnya..” “Ru, Fina udah.. sadar?” Iki yang baru masuk langsung nyengir melihatku sudah sadar. “Iki yang bawa satpam ke sini..” lanjut Zaki.
“Kamu ngga apa-apa, Fin? Pasti sakit ya?” tanya Iki. “Aah! Itu.. kamu tadi ditusuk kan? Aku liat..” “Kamu mimpi buruk ya..” potong Zaki. Mimpi.. “Ngga terjadi apa-apa lagi, kok.. Setelah satpam meringkus orang itu, kamu pingsan dan.. polisi langsung membawa penjahat itu pergi..” jelas Zaki. Ooh.. mimpi ya.. Ah.. Syukurlah..
“Eh! Jangan nangis, Fin..!” Zaki jadi panik karena air mataku turun. “Ah, iya.. Abisnya tadi aku mimpi.. kamu ditusuk sama ibu itu gara-gara mau nyelametin aku..” ujarku. “Ngga ko.. Aku ngga apa-apa.. Pantesan tadi langsung manggil, ya...” “Ngga apa-apa gimana?! Kamu udah lebih babak belur gitu dari awal!” potongku sambil tertawa kecil, “Jangan ngaco, deh!” “Iya.. Ini kan ngga masuk hitungan kejadian tadi..” balasnya, “Walaupun penyebabnya sama..”
Aku mengernyit, “Penyebabnya sama?” “Emangnya kamu pikir siapa yang menabrakku? Pelaku tabrak lari biasa ya?” tanya Zaki. Aku mengangguk. Dia mendengus, “Bukan, Fin.. Itu dia. Penjahat itu yang menabrakku secara sengaja..” “Nggak mungkin! Maksudku.. kamu kan.. orang yang disukai anaknya.. Ngga mungkin dia..” “Kenapa ngga mungkin? Dia hampir membunuhmu.. Seorang psikopat bisa melakukan apapun asal keinginannya terpenuhi. Dia pasti kesel sama aku karena.. yah.. kamu tau karena apa.. Karena Marta.. Oh iya, kamu ingat motor yang menabrakku?” tanya Zaki. Aku mengangguk lagi. “Kalau kamu ke garasi belakang sekarang, kamu akan liat motor itu sekali lagi..” ujarnya. Hah...? Jadi ibunya Marta tega menabrak Zaki Cuma karena.. Zaki tidak pernah mau menerima Marta..? Psikopat. Berarti ibunya Marta sangat menyayangi Marta sampai terobsesi untuk bisa selalu membahagiakan Marta.. Sampai mengancam Zaki untuk mengatakan kalau dia suka Marta dan..
Eh.. Aku baru ingat.. Kenapa ibu itu melibatkan aku..? “Aku mau tanya!” ujarku pada Zaki. “Apa..?” tanyanya. “Kenapa.. ibu itu ingin membunuhku?” tanyaku. “Er.. kamu udah pernah nanya kan..?” balas Zaki. “Ya! Tapi kamu belum ngasih jawaban yang jelas..” ujarku. Iki tertawa kecil, “Ngomong aja, Ru..” “Eh.. itu ya..” Zaki seperti sedang memikirkan jawabannya. Aku menunggunya melanjutkan kalimatnya. “Ya udah aku keluar dulu deh...” ujar Iki. Eh.. Aku tidak mengerti. “Mm.. karena kamu sama aku waktu dia ada.. Eh.. jadinya.. maaf, ya, Fin..! Ini semua emang gara-gara aku!” ujar Zaki. Yaah.. “Jadi.. hanya karena aku di sana.. berarti karena aku mengejarnya! Tuh kan! Semuanya salahku, Ki! Coba.. aku bisa menjaga barang darimu lebih baik..” balasku.
“Ngomong-ngomong tentang boneka itu.. Nih..” Dia memberikan boneka yang.. sudah bersih! Putih seperti baru.. “Kamu cuci?” tanyaku. “Eh.. ngga..” Dia memberiku boneka satu lagi yang ada darahnya.. “Kamu.. ke sana lagi..?” tanyaku. “Mm.. iya..” “Ya ampun! Kamu kan lagi sakit! Ngga apa-apa kok bonekanya.. merah..” ujarku. “Ya.. tapi ngga enak aja kan..” balasnya. Aku tersenyum sambil menimang kedua boneka itu, “Makasih, Ki..” Dia balas tersenyum, “Sama-sama..”
JRAK! “Finaaa!” Teman-teman langsung memelukku. Tia, Rosi, Asiyah, Upi, Indah, banyak deh! Temen-temen cowok Cuma nyengir melihatku sudah sadar. “Kamu ngga apa-apa kan, Fin? Ngga sakit parah?” tanya Tia. Aku menggeleng pelan, “Aku sehat, kok..” “Syukurlaaah! Semuanya khawatir banget sama kamu!” ujar Rosi. Aku tersenyum, “Makasih..”
“Kalian tau dari mana aku di sini?” tanyaku pada teman-teman. “Jojo dateng ke kamar kita tadi. Katanya kamu kecebur di sungai. Dia nyuruh aku bawain baju ganti ke kamarnya..” jawab Tia. Ooh.. iya.. Bajuku sudah ganti. “Kalian yang gantiin ya?” tanyaku. “Iya dong! Ngga usah malu deh, Fin..” ujar Rosi sambil tertawa. Hwaaa! Tetap saja malu walaupun sesama cewek! “Iya! Daripada kamu masuk angin, kan?” tambah Asiyah. Aku mengangguk. “Lagian nanti kamu ngga sadar-sadar! Kamu kan ngga kuat dingin!” ujar Rendi. Eh iya memang.. “Kamu ngga ikutan gantiin baju, kan?!” sentakku pada Rendi. “Ya nggalah!!!” balas Rendi tegas.
“Kalian juga ngobatin aku? Makasih ya...” ujarku. “Eh, ngga.. Cuma gantiin baju.. Pas sampe di sini, kamu udah diobatin sama Zikru..” ujar Upi. Oh.. Zaki.. Eh.. Dia sudah tidak ada.. “Zaki ke mana?” tanyaku. “Kamu ngga liat? Tadi dia keluar..” ujar Riki. “Ngapain? Kakinya kan lagi sakit!!” seruku. “Dipanggil polisi kata Jojo..” ujar Iki yang baru saja masuk. Oh.. “Tenang aja. Dia Cuma jadi saksi, kok..” tambah Iki. Aku mengangguk. Padahal ini semua gara-gara aku.. Harusnya aku yang ditanyain sama polisi.
“Eh iya.. Aku nemu ini di tasmu. Lumayan buat ngangetin tubuh kan, Fin..” ujar Tia sambil memberiku cokelat Toblerone dari Kak Randy! Waah! “Makasih! Untung Kak Randy ngasih ini!” ujarku sambil membuka cokelat itu, “Kalian mau?” “Dari A’ Randy? Waah! So sweet!” seru Upi. Aku Cuma nyengir.
BRAAAK!! “Adeeek!!!” Kak Randy! Panjang umur! Dia langsung menerobos orang-orang dan duduk di sampingku. “Ya Allah! Kamu kok ancur-ancuran begini?!” sentaknya sambil melihat lukaku satu-satu. “Enak aja! Ngga apa-apa kok, Kak.. Cuma kebelah-belah dikit..” ujarku sambil nyengir. “Kebelah-belah kok ngga apa-apa sih, kamu iniii!!! Ayo ke rumah sakit!!!” Kak Randy menarikku bangun. “Ah! Ngga mau, Kak! Di sini aja!” bantahku. “Biar kamu cepet sembuh!!” balas Kak Randy. “Ngga usah, kaaak! Aku ngga mau ke rumah sakit!” ujarku tetap membantah. “Udah ngga usah, Bang! Di sini ada dokter kok. Lagian dia sakit dikit ngga apa-apa kan..” “Apa-apaan sih kamu, Ren? Adeknya sakit malah dibiarin!” seru Kak Randy ketus. “Udah ngga apa-pa, kak.. Lagian aku udah makan cokelat dari kakak nih..” ujarku sambil menunjukkan cokelatnya, “Kakak mau?” “Dikasih kok dibalikin lagi? Dasar bocah!” ujar Kak Randy tertawa. Tapi berkat itu dia tidak memaksaku ke rumah sakit lagi!
“Kakak kok bisa ke sini?” tanyaku. “Ya bisa dong. Tinggal naik mobil..” “Iih! Bukan gitu maksudku!” seruku. “Iya.. Dikasih tau Rendi! Terus orang di rumahmu juga khawatir semua! Jadi kamu pulang aja ya!” ujar Kak Randy. Eh? “Tapi kan acara di sini belum selesai!” balasku. “Biarin ah! Lagian kamu sakit juga ngga akan bisa ikut belajar kan!” balasnya, “Ditambah.. penjahatnya masih ada di sini, ya?” Kak Randy celingukan. “Ngga, kak.. Udah dibawa ke kantor polisi..” ujarku. “Bukan! Yang anaknya..” ujarnya. Ih! “Dasar tukang gosip!!!” seruku pada Rendi. Pasti Kak Randy tau semua itu dari Rendi! “Eeh! Aku berusaha jujur tau!! Enak aja kamu ngatain aku tukang gosip!!” seru Rendi sambil mencubit pipiku lebar-lebar. “Aah! Rendiii!” “Ren! Lagi sakit masih dinakalin aja sih!!!” amuk Kak Randy. Rendi langsung ciut dan mencibir padaku. Huh!
Teman-teman tertawa melihat kelakuanku dengan Rendi dan Kak Randy. Beda 180 derajat! Kalau sama Rendi, pasti berantem terus. Sedangkan kalau sama Kak Randy, ya kaya kakak-adik! “Haah.. Harusnya aku yang jadi saksi dan ditanya-tanya sama polisi ya.. Ini semua kan gara-gara aku..” ujarku. “Kok gara-gara kamu sih, Fin? Ya nggalah! Ibunya Marta kaya gitu pasti karena kamu deket sama Zikru akhir-akhir ini!” ujar Rosi. Tia menyikut Rosi yang langsung tutup mulut. “Eh.. jadi bukan Cuma gara-gara pencurian itu?” tanyaku. “Iya.. Yah, Marta pasti salah paham melihat kamu sering sama Zikru.. Jadi gitu deh..” ujar Tia membenarkan. Ooh.. “Payah! Padahal aku ngga ngapa-ngapain sama Zaki!” ujarku. Haah! Ternyata begitu..
KRRIET! Ada yang masuk.. Zaki! “Zaki! Gimana? Ditanya apa aja?” tanyaku cepat, “Oh iya! Kamu aja yang tiduran, nih!” “Ngga usah, Fin! Ngga apa-apa, kok.. Aku duduk aja,” ujarnya sambil duduk dekat Kak Randy. Zaki nyengir ke Kak Randy yang balas nyengir juga. Sebenarnya mereka tidak saling kenal sih. “Penjahatnya sudah dipenjara, kok..” ujar Zaki. Teman-teman langsung menghela napas panjang tandanya mereka sudah lega, penjahatnya sudah dipenjara. “Aku mengatakan semuanya, termasuk.. aksi penabrakanku itu..” cerita Zaki. “Waduh! Jadi yang nabrak kamu tuh ibunya Marta?” tanya Candra. Zaki mengangguk, “Polisi menemukan bukti motor itu di garasi belakang. Jadi tentu saja penjahatnya terbukti sangat bersalah..” Yang lain mengangguk setuju. “Fuuh.. syukurlah kalau begitu.. Terus.. Marta gimana?” tanyaku. Semuanya langsung melihatku dengan pandangan “ngapain sih kamu masih mikirin Marta?” “Dia bilang dia ngga nyuruh ibunya ngelakuin itu. Tapi aku sendiri ngga begitu yakin..” ujar Zaki. “Polisi pakai lie detector?” tanya Kak Randy. Zaki menggeleng, “Mereka percaya pernyataan Marta itu karena ibunya juga bilang dia melakukannya karena keinginannya sendiri..” “Siapa tau mereka sekongkol, kan!” ujar Riki. “Ya.. Aku juga mikir gitu. Tapi biarin aja. Marta ngga akan berani berbuat jahat sendirian, kok..” ujar Zaki. Oh..
“Ah! Udahlah! Yang penting penjahatnya udah ditangkap! Dan kalian berdua selamat!” ujar Tia. Aku mengangguk. “Ayo pulang, dek!” ujar Kak Randy. “Aah! Ngga mau, Kak! Aku masih mau belajar!” seruku. “Belajar gimana sih? Kan lagi sakit!” balas Kak Randy. “Ngga, kok! Kan yang sakit tangannya aja! Masih bisa ditahan! Pokonya aku mau belajar dulu!” bantahku. “Uh! Iya deh..” Kak Randy mengalah dan mencubit pipiku. “Aah! Kakak!” protesku. “Tuh kan abang juga nganiaya Fina!” seru Rendi. Semuanya jadi tertawa lagi.
Esoknya, Kak Randy pulang pagi-pagi. Semalam dia tidur di kamar Zaki tempat aku juga tidur. Dia ketiduran di sampingku. Aku tidak tega membangunkannya, jadi kubiarkan saja. Zaki, Jojo, dan Iki tidur di satu tempat tidur secara horizontal. Lucu sekali! Tadinya aku mau kembali ke kamarku, tapi Zaki melarangku karena katanya aku harus istirahat yang banyak, jangan jalan-jalan dulu. Aku nurut deh, karena sudah ngantuk juga..
Setelah mengantar Kak Randy pulang, aku mandi. Tia dan Asiyah membantuku membuka perbanku sebelum mandi dan memasangkannya kembali setelah aku berpakaian. Kemudian sarapan bersama dan belajar! Pas sekali, pelajaran biologi, jadi gurunya mas dokter. “Kok ikut belajar? Lagi sakit, kan..” ujar mas dokter padaku. “Ngga apa-apa, mas! Ngga ngaruh kok sakitnya!” jawabku. Mas dokter tersenyum melihat semangatku belajar. Aku balas nyengir senang.
Hari terakhir, sebelum pulang besoknya, di penginapan, Zaki ikut belajar. Dia bosen katanya di kamar terus. Nah.. keadaan sudah membaik sekarang! Marta sudah lebih malu untuk mendekati Zaki karena dia malu menjadi anak dari seorang narapidana. Lagipula dia pasti merasa tidak enak karena ibunya mencelakai orang yang disukainya! Makanya, jadi orang jangan suka maksa! Kan jadi ribet urusannya!
“Belajar bareng, yuk, Fin!” ujar Rosi. “Di aula?” tanyaku. Dia mengangguk, “Sama Zikru, Candra, dan kawan-kawannya! Yuk!” ajak Rosi. Aku mengangguk. Belajar bareng malem-malem lagi! Haah! Senang rasanya masa-masa sulit sudah terlewati! Rasanya seperti baru saja terbangun dari mimpi buruk! Setidaknya, inilah hikmah dari setiap masalah berat yang kita hadapi: setiap kita baru saja menyelesaikan masalah yang berat, maka kita akan bisa menikmati hari-hari kita berikutnya dengan penuh kesenangan dan rasa syukur! Betul, kan?
-udahan deh-
Cretaed: Sunday, 2nd May 2010
Finished: Monday, 24th May 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar