Semester pertama aku masuk SMU rasanya biasa saja. Ibu yang sejak SMP memungutku kembali dari panti asuhan, bicara dengan keras, “Kehidupanmu di SMU akan lebih sulit dibanding SMP!!!” Tapi aku tidak memerdulikannya. Bagiku semua pekerjaan yang ibu beri sudah biasa kulakukan. Dimarahi jika pulang telat. Disuguhkan seluruh pekerjaan rumah yang harus dikerjakan semua dalam waktu sehari, dan besoknya diulang lagi. Itu sudah biasa. Ditampar ibu juga sudah beberapa kali kualami. Kalau ke sekolah aku selalu ditanya guru kenapa pipiku selalu dibalut perban atau sekedar plester penutup luka.
Aku juga tidak mengerti kenapa aku diperlakukan seperti itu. Padahal aku tahu. Dia ibuku. Tapi dia tak pernah menganggapku sebagai anak. Dia menganggapku sebagai babu.. Sebagai pembantu. Tapi aku cukup senang. Ibu masih memberiku makan dan pakaian layak.
Sekarang sudah semester dua. Aku masuk sekolah seperti biasa. Dan duduk di kelas seperti biasa. Dan.. teman kelas biasa. Satayaki. Dia.. orang yang kusukai. Tapi aku tidak berani mengungkapkannya. Aku hanya bisa memandanginya. Setiap hari. Pelajaran hari ini berjalan biasa. Semua serba biasa.
Pulang sekolah, aku piket dulu. Bersama grup piketku. Aku berharap, Satayaki ada di dalam grup piketku. Tapi.. tidak mungkin. Aku pernah mendengar seseorang bicara bahwa Satayaki suka Louisa. Dan.. tentunya, dia memilih untuk segrup piket dengan Louisa. Tapi aku biasa saja. Walaupun sedikit sedih. Tapi.. Satayaki memang bukan untukku.
Setelah piket, aku pulang. Berjalan pelan melewati kelas-kelas yang kosong. Tanpa teman. Aku tidak punya seorang teman pun di kelas. Semua orang membenciku. Biarlah. Aku memang tidak disukai orang.
Saat lewat kelas 1-5 aku melihat bayangan seseorang. Karena penasaran, aku mengintip. Di sana ada.. Satayaki dan Louisa. Mereka memang terlihat cocok. “Aku suka kamu..” Aku mendengar Satayaki bicara begitu. Oh.. jadi.. betul ya. Sudah jelas sekarang. Aku tidak boleh mendengarnya lagi. Aku tidak boleh menguping. Biarkan saja mereka bahagia bersama. Aku harus segera pulang. Atau air mataku akan meleleh di sini.
“Ai!” Panggil seseorang. Aku menoleh. Yu. Yu mengintip di ruang Satayaki dan Louisa berada. “Kamu.. tidak apa-apa?” tanyanya. “Ti.. tidak kok..” kataku terbata. Air mataku. Aku segera berbalik. Tapi Yu membalikkanku lagi. Untungnya aku belum menangis. “Tidak mungkin! Kamu pasti sakit hati kan? Melihat Satayaki dan Louisa,” katanya. “Ke.. kenapa harus sakit.. hati? Aku.. senang kok.. Mereka bisa.. bahagia..” balasku terbata sambil tersenyum. Dipaksa. Benar. Memang hatiku sakit. Tapi.. aku memang tidak seharusnya sakit hati. “Bohong. Aku tahu kau suka Satayaki,” lanjutnya. Aku menggeleng sambil tetap tersenyum dipaksa. “Tidak.. Walaupun.. aku.. suka.. Satayaki memang tidak untukku.. Aku tidak cocok dengan siapapun.. Aku.. hanya cocok dengan kehidupanku..” kataku. Aku merasa air mataku mulai tergenang. Itu benar. Aku memang hanya cocok dengan kehidupanku.. yang penuh derita. Aku.. memang tidak akan pernah bahagia.. Aku segera berbalik. Aku merasakan air mataku mulai meleleh. “Apa maksudmu? Dengan kehidupanmu?” tanyanya. “Ah.. ti.. tidak apa.. a.. aku ti.. hiks! Ah, aku... tidak bermaksud.. apa.. apa..” jawabku sambil menahan tangis. “Kamu.. nangis ya?” tanyanya. Aku menggeleng. “Eh, ah.. aku.. ha.. harus.. pulang.. Sampai.. besok..” kataku cepat sambil berlari menjauh. Aku tidak boleh menangis! Untuk apa aku menangis? Seharusnya kan aku senang.. Satayaki bisa bahagia bersama Louisa. Dan aku.. juga senang dengan hidupku. Harus senang.. dengan hidupku.. yang.. tidak pernah bahagia..
Aku pulang dengan wajah sembab. Disambut ibu dengan geram. “Pulang nangis! Dasar anak tak tahu diuntung! Mau bilang ke semua orang kalau Ibu jahat ya?! Hah?!” teriaknya. Aku hanya menggeleng. “Masih mengelak!!! Udah kecentilan sama cowok!!! Masuk kamu!!! Masuk!!!!!” teriak ibu, sambil menjambak rambutku dan menyeretku masuk. “A.. aduh....” Aku mengerang. Sakiiit... Ibu melemparku ke dalam ruang tamu. Lalu dia mengambil gunting. “Biar kamu tidak kecentilan lagi!!!! Akan kupotong rambutmu!!!!” teriaknya. Ibu mulai mengguntingi rambutku. “Jangan...” ujarku. “Melawan!!!!” teriak Ibu sambil menamparku. “Aw...” Aku mengerang. Sakit sekali... setelah itu aku hanya diam. Aku hanya bisa diam dan menangis.. Aku tidak bisa melawannya..
Ibu mengguntingi rambutku dengan kasar. Hingga akhirnya gunting itu menyentuh telingaku.. dan merobeknya. “ADUH!!!” Aku teriak. Ibu meninggalkanku dengan gunting yang berdarah. Aku menyentuh telingaku. Berdarah.. Sakiit..
Aku berjalan lunglai ke kamar sambil memegangi telingaku yang robek. Sampai di kamar, aku membersihkan darahnya dengan air. Sakit sekali. “Aw.. aduh...” Aku mengerang beberapa kali. Setelah itu, aku bubuhi antiseptik dan kuperban. “Ah..” Aku melihat wajahku di kaca. Aneh. Rambutku acak-acakan. Bekas tamparan Ibu terlihat. Biru. Dan ada goresan yang berdarah. Aku memperbannya dan memplesternya. Semoga.. tidak ada yang bertanya tentang lukaku ini. Karena.. tidak ada.. yang boleh tahu.. tentang kehidupanku..
Tiba-tiba Ibu masuk. “Eh, malah dandan! Dasar!!! Kerja sana cepat!!!” teriaknya. Aku buru-buru keluar kamar. Mengambil ember dan kain pel. Aku mengisi ember dengan air, dan mulai mengepel ke seluruh lantai rumah. Mengelapi barang-barang, mencuci piring bekas makan ibu, adik perempuan, dan kakak laki-lakiku. Setelah itu, mengelapi jendela. Menyirami kebun, mandi, menyikati kamar mandi, dan istirahat sebentar. Aku diberi makan dengan nasi dan lauk tahu satu. Hanya itu. Dan minum segelas kecil. Makan pun harus di dapur.
Setelah itu, memberesi buku-buku ibu, adik, dan kakak yang selalu berantakan. Atau sengaja diberantakan untuk membuat pekerjaanku lebih berat. Sampai malam. Malamnya, pukul sembilan, aku tidak boleh makan lagi. Aku hanya dapat jatah makan siang hari. Malam itu, Ibu, adik, dan kakak tidur lebih cepat. Aku masuk ke kamar. Yang sebenarnya.. bukan kamar. Gudang. Ya. Itu lebih cocok. Kasurku yang hanya selapis dan ditaruh di lantai. Dengan bantal dan guling yang kempes.
Sebelum tidur, aku menggunting dulu rambutku agar terlihat rapi. Atau aku akan dimarahi guru besok. Setelah itu, aku belajar sedikit dan memberesi buku untuk besok.
Aku tidur dengan angin yang sering menerobos masuk lewat atap yang sudah agak bolong. Tapi.. aku harus senang dengan semua ini.. ya.. aku senang.. Aku terbatuk pelan. Udara malam sangat dingin. Tapi aku tak punya selimut. Biarlah.. Aku bisa tahan.
Sejak SMU, aku tidur di situ. Entah kenapa. Padahal kamarku yang dulu tidak dipakai untuk apa-apa. Tapi aku terima.. daripada menimbulkan masalah yang lebih besar. Aku merasakan perutku yang keroncongan. Tapi akan kutahan.. walaupun aku bisa mati.. akan kutahan.. untuk Ayah, yang tak pernah kulihat...
Besoknya, aku bangun tepat waktu. Setelah mandi, aku buru-buru ke dapur, untuk menyiapkan makanan. Tiga roti, dan tiga daging. Tiga gelas susu. Tanpa sarapan untukku. Ibu, adik, dan kakak bangun tepat ketika aku selesai menyiapkan makanan. Setelah itu, aku harus menyapu. Setelah menyapu, mencuci piring dan gelas bekas sarapan ibu, adik, dan kakak. Lalu aku berganti pakaian dan pergi ke sekolah. Adik dan kakak pergi diantar ibu. Dan aku jalan kaki. Karena aku ingin menghemat uangku.
Sampai di sekolah, belum ada siapa-siapa. Hanya ada Satayaki. Aku langsung menaruh tas dan buru-buru keluar. Aku akan mencoba melupakan Satayaki. Lagipula kalau aku ada di dalam, nanti Louisa salah sangka, dan mereka berantem. Aku harus membiarkan mereka bahagia..
Aku duduk di luar. Di depan kelas. Tak beberapa lama, Yu datang. Dia heran melihatku. “Rambutmu?” tanyanya. “Ah, tidak apa,” jawabku. Iya sih. Memang aneh. Aku yang tadinya berambut panjang sepinggang dan agak berombak, kini harus senang dengan rambut sepundak yang agak acak-acakan. “Kenapa tidak masuk?” tanyanya. “Sudah,” jawabku. Yu menarik tanganku. Menyuruhku berdiri, dan menyeretku masuk. “Jangan.. Aku tidak ingin.. ada perpecahan..” kataku. Yu melihat Satayaki yang heran melihat kami. Aku memalingkan muka darinya. Aku harus melupakannya. “Apa? Apa maksudmu?” tanya Yu. Aku hanya menggeleng. Yu menghela nafas panjang. “Tidak ada perpecahan. Kenapa kamu selalu membohongi perasaanmu? Perpecahan? Siapa Satayaki dan Louisa? Kalau kamu terus saja membohongi perasaanmu, kamu akan terus merasakan sakit!” kata Yu keras. Aku menggeleng lagi. “Aku tidak membohongi perasaanku.. tidak.. Aku.. memang tidak ingin.. ada perpecahan. Aku.. tidak merasa.. sa.. sakit.. kok..” kataku sambil tersenyum paksa. “Kenapa? kenapa selalu berbohong kepadaku? Apa kau juga akan berbohong pada Satayaki?” tanyanya. Aku menggeleng. “Tidak.. aku tidak bohong...” jawabku. Yu meninggalkanku marah.
Aku keluar. Berlari ke kamar mandi. Saat sedang berlari, aku tak sengaja menabrak seseorang. “Ah, maaf,” kataku cepat, lalu segera berlari lagi ke kamar mandi, sampai di kamar mandi, aku menangis. Apa maksud Yu? Aku memang tak membohongi perasaanku. Aku memang.. ingin.. Satayaki dan Louisa bahagia. Aku.. tidak bohong.. Hiks.. aku tidak bohong..
Aku menghapus air mataku. Yu marah padaku sekarang. Lebih bagus begitu. Semoga dia tenang dengan membenciku. Aku memang pantas untuk dibenci. Aku tidak pantas dikasihani. Aku tidak berhak mendapat kasih sayang. Aku tidak pantas disukai seseorang. Aku memang seharusnya dibenci orang. Aku.. bukan orang yang pantas disukai..
Setelah mencuci muka, aku kembali ke kelas. Bel masuk tepat berbunyi saat aku duduk. Pak guru masuk. Dia heran melihatku. Tapi dibiarkan saja. Pelajaran berlangsung biasa.. Pulang sekolah aku ketemu Ayah. Dijemput ayah. Wah, rasanya senang! Pulang ke rumah baru. Tanpa penderitaan...
“AI!!!!!” pak guru membentak. Aku terbangun. Ah, aku tertidur. “Maju ke depan!” bentaknya. Aku maju dengan enggan. Pak guru memperhatikanku. “Kenapa pipimu? Telingamu?” tanyanya. “Tidak apa.. Pak,” jawabku. “Bohong! Ceritakan!” ujar Pak guru. “Eh, ng.. Saat aku menutup jendela, telingaku terjepit. Dan saat potong rambut, pipiku tergores. Itu saja, Pak,” kataku bohong. Anak-anak tertawa geli. Meledek. Menghina. Aku juga ikut tertawa. Paksa. Aku tidak boleh menangis. Karena itu lebih baik aku tertawa. Ikut menertawai diriku sendiri. “Tapi Bapak tidak bisa memaafkanmu,” kata pak guru. “Anak-anak! Ambil ember di kamar mandi, dan siramkan ke Ai, agar dia tak tidur lagi!” seru pak guru. Anak-anak ribut keluar kelas. Semua mengambil air. Termasuk Satayaki. Oh, dia benci aku juga. Kecuali Yu. “Eh, kenapa kau tidak ikut?” tanya pak guru. “Tidak. Itu bukan perbuatan yang seharusnya kulakukan,” jawabnya tenang. “Mau bela dia? Bela!” seru pak guru gusar. “Kenapa? bukankah kau kesal padaku? Ambillah seember air untuk menyiramku,” kataku. Yu menatapku. “Aku memang tidak suka kau. Aku tidak suka kau yang bohong. Tapi aku tidak mau menghancurkan sisi baikmu,” balasnya. Aku.. tidak mengerti. Beberapa menit kemudian, anak-anak kembali dengan ember atau gayung penuh air. Mereka menumpahkan airnya ke aku. Aku hanya tersenyum. Walaupun pipi dan telingaku rasanya sangat sakit, tapi aku hanya bisa tersenyum. Untung saja, mereka menyiramkan air. Jadi mereka tidak akan tahu, kalau aku.. menangis.. Yu menatapku. Aku hanya bisa tersenyum. Dia memalingkan mukanya kesal. Maaf. Aku hanya bisa berbohong. Bohong dan bohong. Karena tidak ada yang boleh tahu tentang hidupku. Tidak ada. Tidak ada yang boleh tahu..
Setelah semua anak menyiramku, aku disuruh mengepeli kelas. Aku hanya mengangguk. Dan mulai mengepel. Aku mengepel kelas yang basah.. karena kesalahanku. Ya.. semuanya memang salahku. Saat melewati anak-anak, mereka mencibir ke arahku. Tapi Satayaki tidak. Dia hanya memandangiku. Aku tersenyum padanya. Aku berpindah dari satu barisan ke barisan lain. Saat sampai di barisan Yu, anak-anak mencibir semua. Bahkan ada anak-anak perempuan yang memarahiku karena sepatunya jadi basah atau tasnya jadi basah. Tapi aku hanya bisa tersenyum. Kalau sudah ingin menangis, aku berpura-pura terciprat air pel. Saat melewati Yu, dia malah membuka jasnya dan memakaikannya padaku. Tapi aku membukanya kembali dan menaruhnya di mejanya. “Terima kasih,” kataku. Yu tidak memandangku. Dia terlihat kesal.
Setelah mengepel, bel istirahat berbunyi. Aku duduk di pinggir lapangan. Mengeringkan pakaianku. Tanpa membukanya. Biarlah. Paling aku masuk angin. Tapi tidak apa. Semoga dengan begitu aku bisa cepat.. mati.. Ya. Mungkin kalau aku mati, semua akan senang ya.. Ibu, adik, kakak, Satayaki, Louisa, Yu, para guru, dan semua murid. Juga pemilik restoran tempat aku kerja. Mereka.. akan bersyukur. Pengganggu kehidupan mereka hilang.. Tanpa sadar air mataku sudah turun ke pipiku..
“Kakak, kenyapa nyangic? Kok cidak cekolah?” tanya seseorang. Aku menatap orang itu. Anak kecil. Aku tersenyum. “Kakak sekolah kok. Ini kan jam istirahat. Adik kok bisa di sini?” tanyaku. “Ibu nyang ngajak aku ke cini. Kakakku mau macuk cekolah inyi,” katanya. Aku mengangguk sambil menghapus air mata. “Nanti, kalau sudah sekolah, jangan nakal ya!” kataku. “Aita! Aita!” panggil seorang Ibu. “Cudah ya kak. Ibu manggil aku,” katanya. “Celamat tinggal,” katanya. Aku tersenyum. “Semoga bahagia,” kataku. Bahagia.. ya.. tidak seperti aku..
“Bahagia?” tanya seseorang dari belakang. Aku menoleh. Yu. “Apa maksudmu bahagia? Kau tidak pantas mengatakan itu,” sambungnya. Aku hanya tersenyum. “Maaf... Terima kasih atas semuanya,” kataku. Aku beranjak pergi. Aku tidak mau melibatkan Yu dalam kehidupanku. Aku pindah ke bawah pohon di sudut kiri halaman sekolah. Datang penjaga kebun. “Kok di sini?” tanyanya. “Ng.. maaf. Cuma cari tempat duduk,” kataku. “Basah lagi. Mau sekalian menyuburkan tanaman ya?” tanyanya sambil tertawa. Aku ikut tertawa pelan. “Tidak, pak. Tanaman pun akan mati kalau berhubungan denganku,” ujarku. “Kalau begitu, kenapa kau duduk di sini? Nanti tanamannya pada mati,” ujar si penjaga kebun. Aku tersenyum sambil berdiri, dan beranjak pergi. “Eh, saya cuma bercanda kok!” ujar si penjaga kebun. Aku menoleh padanya dan tersenyum. Lalu mengangguk. Aku.. harus duduk di mana? Tidak ada yang mau menerimaku. Karena semua orang benci aku. Aduh.. aku menangis lagi. Akhirnya, aku memilih untuk duduk di depan gerbang sekolah. Tapi baru beberapa menit, seorang laki-laki datang. “Kok duduk di sini?” tanyanya. “Maaf. Aku sungguh minta maaf. Kau terganggu ya? Maaf! Aku memang pengganggu. Aku.. memang harusnya dibenci orang. Maaf..” kataku sambil beranjak pergi. Dasar aku pengganggu! Bisanya hanya mengganggu, dan mengganggu! Harusnya aku tidak ada di dunia ini. Kenapa aku ada di dunia ini? Aku tidak dibutuhkan di dunia ini. Aku sudah tidak ingin berada di dunia ini! Aku sudah tak tahan berada di sini! Aku.. lebih baik mati!
DUAAAAK!!!!! Ada orang yang memukulku dari belakang. Sakiit.. Kuharap dengan ini aku mati.. Siapapun yang memukulku, aku ucapkan terima kasih. “Terima.. kasih...” kataku pelan sambil terhuyung jatuh. Pusing.. aduuh.. sakit.. dan seketika semua gelap. Fuuh.. terima kasih. Akhirnya aku bisa mati. Akhirnya aku bisa membahagiakan semua orang...
Saat sadar, aku telah berada dalam ruangan yang putih. Kuharap bukan di dunia lagi. Tapi.. “AI!” panggil Yu. Ah, aku belum mati.. “Aku.. belum mati ya..?” tanyaku. “Tentu saja belum,” jawabnya. “Yah.. kenapa.. aku tidak mati...?” tanyaku. Yu diam saja. “Siapa.. yang memukulku?” tanyaku. “Kamu ingin tahu? Tapi kuharap kamu tidak marah..” kata Yu. Aku mengangguk. “Satayaki,” kata Yu. Aku tersenyum senang. Walaupun aku tahu. Air mataku sudah bergulir. “A.. aku harus menemuinya,” kataku. Aku segera mencopot semua jarum infus, dan pergi keluar. “Satayaki!” panggilku. Dia ada di luar. Satayaki segera berdiri. “Kenapa?! kenapa kamu tidak membunuhku? Kenapa cuma dipukul? Kenapa kau tidak menusukku dengan pisau? Atau menembakku hingga mati? Atau mencekikku hingga aku tak bernyawa? Kenapa kau membiarkanku hidup? Cepat bunuh aku!” seruku. “Ai!” Yu memegang tanganku yang siap memukul kepalaku. Aku menangis. “Ini.. bukan ideku. Kamu tahu, kan. Aku suka Louisa. Dia yang menyuruhku membunuhmu. Tapi.. aku tidak bisa..” ujar Satayaki. “Kenapa tidak bisa? Kenapa tidak menuruti perintah Louisa? Harusnya kau menuruti perintah orang yang kau sukai. Orang yang kau cintai! Tapi kenapa?! Aku harus berterima kasih pada Louisa karena dia sudah berniat ingin membunuhku. Aku harus ketemu dengannya. Aku harus bilang kalau membunuhku itu halal! Aku akan bilang pada semua orang. Bahwa membunuhku adalah perbuatan benar!” teriakku. “Ai! Kau harus hidup! Ai!” Yu mencegahku. Aku memberontak dan lari dengan cepat.
Louisa ada di luar klinik. Dia membawa pisau! Untung sekali! “Louisa!” teriakku. Aku menghampirinya lalu memeluknya. “Terima kasih! Sudah mau membunuhku. Kau bawa pisau kan? Sekarang, cepat bunuh aku! Ayo! Aku bersedia kau bunuh. Cepatlah! Tusukkan pisau itu!” kataku. “Tapi, Ai.. aku tidak..” “Kenapa?” tanyaku. Aku mengambil pisau di tangannya. “Membunuhku itu mudah,” kataku. “Seperti ini..” “AI!!!!!” Yu memegang tanganku. Menghentikanku yang sedang mencoba bunuh diri. “Jangan lakukan itu!” teriaknya. Yu mengambil pisau itu dari tanganku dan membuangnya.
Ibu, adik, dan kakak datang. “Kau tidak boleh bunuh diri. Kau itu...” Dengan cepat, ibu mengambil pisau itu. Menerobos Satayaki, Louisa, dan Yu. Lalu menusukkan pisau itu, ke perutku dengan segera. “Mau mati, ya mati saja!!!” teriak ibu. Ah.. sakiit.. “Ibu.. terima kasih. Terima kasih banyak. Sudah membunuhku. Bilang pada polisi, Ibu tidak bersalah. Semoga aku tidak bangun lagi ya..” kataku sambil jatuh ke bawah. Yu menangkap tubuhku yang lemas. Aku memegangi pisau yang menancap di perutku. Dan sedikit merobek kulitku. Membuatku tambah sakit. Membuatnya berdarah. Tapi.. aku memang ingin mati... untuk membahagiakan semua orang.. Fiuuh... Syukurlah... Aku tersenyum. “Ter...ima...ka...sih.....” kataku. Dan semua jadi gelap. Kuharap aku tidak bisa bangun lagi untuk selamanya. Aku masih bisa mendengar suara mereka. “AII!!!!!” Yu.. maaf. Semuanya, aku minta maaf. Sudah membuat susah. Aku bisa merasakan Yu masih saja memeluk tubuhku. Yang sebentar lagi mungkin tak bernyawa. Semua makin tidak jelas. Selamat tinggal.. semuanya.. Aku minta maaf karena sudah membuatmu hidup kalian susah.... Kalian bisa berbahagia sekarang... Selamat tinggal.... Sampai jumpa lagi... di alam sana..................................... ........... ........ ...... .... ... .. .
Minggu, 14 Februari. Dua bulan setelah kejadian itu, hidupku membaik. Aku bahagia sekarang. Walaupun ibu dipenjara, tapi kakak dan adik baik padaku sekarang. Aku tahu kenapa mereka bersikap jahat kepadaku dulu. Karena aku adalah anak ayah yang sebenarnya. Sedangkan Ibu hanyalah kekasih gelap ayah. Ibuku yang sebenarnya dimakamkan di Osaka.
Sekarang aku sudah mau kelas dua. Aku sedang jalan-jalan sama Yu sekarang. “Eh, nanti kalau lulus SMU, kita mau kuliah dulu atau langsung menikah?” tanyanya. “Eh? Siapa bilang aku mau sama kamu!” kataku sambil tertawa. Kali ini dengan tidak terpaksa. “Haah!!!” Yu memasang tampang protes dan kecewa. “Bercanda kok...” ujarku. “Dua bulan yang lalu, aku cemburu sekali pada Satayaki, lho,” katanya. “Tapi, sekarang kan semua sudah pada tempatnya,” kataku. Yu menggenggam kedua tanganku. Kami berhenti di depan sebuah toko cokelat.
“Mau beli cokelat?” tanyanya. “Ya. Boleh juga,” jawabku senang. “Belikan aku ya,” kata Yu. “Ini kan Valentine.” Aku mengangguk sambil tersenyum. Kami pun masuk ke toko itu. Yap! 14 Februari aku akan melupakan hidupku yang tanpa semangat. Dan akan memulai hidup baru penuh semangat bersama Yu. Semangat!
another stories will added! wait for my stories, yiaaak!:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar